Perkembangan industri perfilman Indonesia memang unik. Bangkitnya
film nasional yang ditandai banyaknya jumlah produksi film lokal dan
peningkatan penjualan karcis bioskop, di satu sisi diwarnai proses
pengeroposan besar-besaran yang kontraproduktif bagi perkembangan
kreativitas. Salah satu masalah terbesar adalah maraknya pelanggaran
hak cipta film, khususnya pembajakan.
Namun, penggandaan VCD/DVD secara ilegal tidak dapat dipandang
sempit hanya dari satu sisi negatif. Ada beberapa dimensi permisif yang
menyebabkan “penghalalan” tindakan tersebut.
Pertama, pembajakan adalah bentuk “perlawanan rakyat”,
khususnya lapisan bawah terhadap harga VCD/DVD asli yang harganya
terlampau mahal sehingga melemahkan daya beli. masyarakat berpedoman: “selama masih bisa dihemat mengapa harus membeli yang mahal?”.
Kedua, orang membeli VCD/DVD bajakan karena VCD/DVD
orisinal biasanya baru keluar beberapa bulan setelah filmnya diputar di
bioskop. Bagi masyarakat kalangan menengah ke atas di perkotaan, akses
menonton bioskop barangkali tak menjadi masalah. Namun sebagian
masyarakat golongan “tak sabaran” yang sensitif harga dan minim akses,
membeli VCD/DVD bajakan karena ingin cepat-cepat menonton filmnya. Dan
pada kenyataanya, golongan “sensitif harga” atau “tak punya waktu ke
bioskop” ini jumlahnya lebih banyak .
Ketiga, VCD/DVD bajakan adalah “nyawa” bagi pedagang
kakilima (beberapa diantaranya pedangang besar dengan gerai khusus,
seperti di Glodok yang merupakan sentra pembajakan terbesar di
Indonesia). Menjual VCD/DVD bajakan bagi mereka adalah satu-satunya
usaha yang dianggap mampu menyambung hidup sehari-hari, termasuk untuk
anak- istri. Sehingga bagaimanapun pihak kepolisian yang masih
melestarikan “budaya kekeluargaan” juga mempunyai pertimbangan lain
untuk menggelar razia setiap hari.
Keempat, Produsen VCD/DVD bajakan akan melakukan eksploitasi
dan komersialisasi HAKI apabila biaya produksi marjinal untuk
produk-produk film yang bermuatan HAKI jauh lebih kecil dari harga jual.
Kompetisi usaha yang tidak sehat dan adanya permintaan dan daya beli
yang tinggi, merupakan pendorong utama dilakukannya eksploitasi dan
komersialisasi HAKI.
Tak peduli film asing atau buatan dalam negeri, film tersebut sukses
atau tidak, bukan menjadi pertimbangan utama. Semuanya dibajak untuk
kemudian dijual secara bebas atau disewakan di rental-rental. Hasil
bajakan film nasional biasanya segera muncul beberapa hari setelah
tayangan perdananya diputar di bioskop. Untuk film impor, rata-rata
sudah beredar satu bulan sebelum film aslinya diputar di bioskop. Di
Jakarta saja, menurut penelusuran Kompas (lupa tanggalnya),
saat ini diperkirakan setiap hari beredar sekitar 1.000.000 keping
VCD/DVD bajakan, atau 30 juta sebulan! Sebuah angka yang fantastis.
Meskipun produk-produk asli yang dicuri atau ditiru tersebut
kebanyakan hasil karya atau kekayaan intelektual orang asing, namun
tindakan pembajakan tersebut dapat melemahkan motivasi individu dan
komunitas bisnis dalam negeri untuk melakukan kegitan produksi dan
investasi di bidang perfilman.
Ironisnya, bukan hanya film mancanegara yang dibajak, sejak lama film lokal pun mengalami nasib sama. VCD bajakan Ada Apa dengan Cinta? misalnya
tergolong sangat laris manis dan menjadi legenda di pasar gelap negeri
ini. Menurut data dari ASIREVI, dua minggu setelah film ini dirilis ke
pasaran, tepatnya mulai 21 Februari sampai 6 Maret, jumlah VCD/DVD yang
berhasil digandakan oleh pembajak dalam satu hari bisa mencapai 200.000
keping VCD/DVD ilegal (Kompas, 2 April 2002 ).
Semua kasus pelanggaran HAKI di bidang film yang terjadi di tanah air
nyaris “kebal” terhadap sentuhan hukum. Gejala ini tentu menimbulkan
pertanyaan mendasar. Apakah betul-betul sistem hukum di negara kita
sangat buruk sehingga seseorang atau sekelompok orang dapat dengan
sesuka hatinya mengambil karya orang lain dan menyebarkan
seluas-luasnya tanpa ada aturan, teguran, peringatan, bahkan hukuman?
Atau bisa jadi itulah gambaran kondisi mental masyarakat yang tidak
memiliki kesadaran akan arti pentingya HAKI di bidang film?
Dalam perspektif manajemen media, pembajakan film lewat VCD/DVD
melibatkan banyak aspek. Mulai aspek produksi, distribusi, hingga
konsumsi film. Proses pembajakan menciptakan “jaring-jaring kehidupan”
antara produsen, distributor, dan konsumen. Tindakan pembajak senantiasa
bermotif ekonomi. Sayangnya, hubungan simbiosis tersebut tercipta dalam
ranah ilegalitas, baik dari segi etis maupun yuridis.
Pembajakan dilihat dari aspek produksi misalnya, menyangkut teknis
penggandaan VCD/DVD dengan sarana material berupa alat-alat produksi
hasil temuan teknologi masa kini. Juga konteks sosial dan politik yang
berperan di dalamnya. Law enforcement serta regulasi produksi
film yang ada aat ini belum atau bahkan tidak maksimal sama sekali
sehingga tindakan pembajakan seolah tidak pernah tersentuh oleh
peraturan normatif, dalam hal ini sanksi hukum.
Aspek distribusi misalnya, menyangkut bagaimana produsen berhubungan
dengan distributor untuk mengedarkan VCD/DVD bajakannya hingga sampai
ke tangan konsumen. Setidaknya meliputi negosiasi antara
Produser-Distributor menyangkut banyak hal seperti penentuan wilayah
edar, jangka waktu edar, pola pemasaran, karakteristik audiens yang
dituju, hak eksplotasi dan sebagainya. Aspek pemasaran juga melibatkan
jaringan bisnis yang dibangun oleh pemasok kepada pengecer VCD/DVD
bajakan dari pusat hingga sampai ke pengecer di pinggir-pinggir jalan.
Aspek konsumsi film misalnya, menyangkut bagaimana konsumen bisa
menikmati VCD/DVD bajakan dilihat dari segi kepuasan, atau berapa banyak
mereka biasanya menghabisakan uang untuk membeli VCD/DVD ilegal
tersebut. Dari gejala ini sini muncul pola yang bisa dilihat antara
lain; banyaknya niat orang yang ingin membajak film berarti paralel
dengan sifat penasaran banyak orang yang ingin melihat film. Produsen
juga mampu menciptakan permintaan pasar melalui pembentukan otoritas
yang seimbang antara produsen dengan konsumen. Otoritas ini menimbulkan
mekanisme pasar yang seimbang pula dengan ketersediaan banyak variasi
dan ragam VCD/DVD bajakan. Baik dari berbagai genre film, seperti
kategorisasi VCD/DVD bajakan untuk film anak, film seri, film box
office, bahkan film seks sekalipun.
Tentunya bahasan akan menjadi semakin luas jika menyangkut
elemen-elemen lain dari perspektif filmologi. Tetapi dalam menganalisis
pelanggaaran HAKI di bidang film ini, tulisan ini tidak akan
mengelaborasi semua aspek mikro secara mendalam berdasarkan data
empiris. Karena dalam analisis makro, masing-masing aspek akan secara
otomatis bersinggungan.
Barangkali sebelum bahasan dalam tulisan ini menjadi lebih jauh, penting disepakati bersama arti verbal atas kegiatan pembajakan kreativitas yang
dimaksud. Asal kata “pembajakan” adalah “bajak”. Arti gramatikal
“bajak” berubah makna setelah mendapat awalan pe- dan akhiran -an,
yaitu proses membajak. Membajak sendiri memiliki arti alternatif; mengambil hasil ciptaan orang lain tanpa sepengetahuan atau seizinnya (Kamus Besar Bahasa Indonesia, Balai Pustaka ).
Dari uraian gramatikal tersebut ada beberapa tindakan yang
kontraproduktif, yaitu; tidak jujur, curang, tidak sah, mencuri, menipu
dan manipulasi. Dengan melihat arti verbal dan kandungan moralitas dari
sederet kata-kata sandang di atas, penegasannya harus diikuti oleh
peraturan hukum formal yang verbal pula. Untuk itulah analisis kasus
pembajakan sangat terkait dengan aspek hukum.
Jika didefinisikan secara operasioanl, HAKI adalah hak atas
kekayaan yang muncul atau lahir karena kemampuan intelektual manusia.
Penemuan atau karya itu lahir atau dihasilkan oleh manusia melalui
kemampuan intelektualnya, yaitu berupa daya, cipta, rasa, dan karsa di bidang ilmu pengetahuan,seni, sastra maupun teknologi (Umar dalam Saudi, 2001: 117) .
Pun demikian halnya HAKI di bidang film, hak itu lahir atau
dihasilkan oleh manusia melalui kemampuan intelektualnya yang berupa
daya, cipta, rasa, dan karsa dalam kaitannya dengan produk film (dari
konsep hingga bentuk jadi), yang di dalamnya mengandung unsur-unsur yang
harus dihormati oleh orang lain. Tidak semata-mata hak intelektual,
tetapi menyangkut juga hak ekonomi yang meliputi hak cipta, hak paten,
hak merk dan sebagainmya.
Di Indonesia, sumber utama hukum HAKI adalah Undang-undang Nomor 6
tahun 1987, kemudian diperbaharui dengan Undang-undang Nomor 7 Tahun
1987. Yang terakhir adalah Undang-ndang Nomor 12 Tahun 1997, yang
diundangkan pada tanggal 7 Mei 1997. Sebenarnya Indonesia sudah memiliki
undang-undang perfilman, yaitu Undang-undang No. 8 tahun 1992 dan ,
namun seiring perkembangan kebutuhan dan tuntutan penyelesaian
permasalahan di lapangan, undang-undang tersebut terbukti tidak mampu
memberi jawaban atas berbagai persoalan. Fungsi regulasi tidak banyak
bisa diandalkan dalam menghadapi kasus-kasus pelanggaran hak cipta,
seperti penggandaan DVD secara ilegal ini.
Selain itu, terdapat dua peraturan Pemerintah sebagai pedoman
pelaksanaannya, yaitu Peraturan pemerintah Nomor 14 tahun 1986 tentang
Dewan Hak Cipta, yang telah diperbarui dengan Peraturan Pemerintah Nomor
7 Tahun 1989 Tentang Penerjemahan dan/atau Perbanyakan Ciptaan untuk
Kepentingan Pendidikan, Ilmu Pengetahuan, Penelitian, dan pengembangan
Penelitian yang pada dasarya mengatur operasionalisasi ketentuan
mengenai lisensi wajib di bidang hak cipta (Compulsory Licensing).
Sebagai konsep hukum, HAKI memberikan landasan pengaturan atas
pengakuan, penghargaan, dan perlindungan terhadap hak atas karya-karya
yang dihasilkan dari kemampuan intelektualitas manusia. Jika pelanggaran
terhadap HAKI dilakukan, maka secara hukum akan dikenai sanksi kurungan
dan biaya. Hal ini sangat jelas terlihat dalam UU HAKI baik yang lama
maupun baru. Dalam pasal 44 Bab VI Undang-Undang Republik Indonesia
Nomor 7 tahun 1987 Tentang hak Cipta misalnya, pelanggarannya
dikatagorikan sebagai tindak pidana. Para pelanggarnya dikenai sanksi
hukum kurtungan selama maksimal tujuh tahun dan membayar denda dari Rp.
15.000.000,00 hingga Rp.100.000.000,00
Secara internasional, Indonesia juga telah menandatangai berlakunya kesepakatan Trade Related Aspects of Intelectual Property Rights (TRIPS) dalam persetujuan Putaran Uruguay di Marakesh, Maroko, tahun 1994 silam. Kemudian direalisasikan sejak 1 Januari 2000 lalu (Kompas,
3 Januari 2000). Namun dalam praktik sungguh ironis, saat
diberlakuannnya undang-undang internasional tersebut, Indonesia justru
mendapat corengan muka yang boleh dikatakan sangat memalukan. Apa pasal?
Political and Economic Risk Consultancy (PERC), sebuah
lembaga konsulltan yang bermarkas di Hongkong, melakukan survei
melibatkan sejumlah ekspatriat yang bertugas di sepuluh negara Asia.
Hasilnya, dalam hal kualitas sistem HAKI, skor untuk Indonesia adalah 9,82 (skor dimulai dari angka 0 berarti terbaik hingga 10 yang berarti terburuk). Untuk jaminan perlindungan HAKI,
Indonesia berada di urutan ke-9 yang berarti sering terjadi
pelanggaran. Posisi yang menempatkan negara kita hanya sedikit lebih
unggul dari Cina (Kompas, 9 Januari 2000).
Sebelumnya, menurut laporan tahunan Specila 301 yang dikeluarkan oleh kantor perwakilan perdagangan AS (United States Trade Representative/USTR), Indonesia merupakan satu-satunyua negara anggora ASEAN yang masuk dalam priority watch list
USTR untuk kasus-kasus pelanggaran HAKI. Pelanggran tersebut terutama
disebabkan tingginya pembajakan VCD/DVD sejak tahun 1998 (Kompas, 7 Juli 1999)
Mengenai status pengawasan tersebut, selengkapnya USTR membagi menjadi tiga kategori, yaitu watch list (daftar negara yang dipantau), priority watch list (daftar negara yang diprioritaskan untuk diawasi), dan priority foreign country (negara yang gerbukti bersalah sehingga perlu diberi sanksi perdagangan).
Dengan masuknya Indonesia ke dalam status priority watch list,
berarti secara empiris garfik pelanggran HAKI di Indonesia semakin
meningkat. Sebelumnya Indonesia masih termasuk dalam status watchlist (walaupun sejak tahun 1988 hal ini sudah terjadi berkali-kali).
Banyak pengamat film memprediksi, seiring munculnya VCD/DVD bajakan
yang semakin marak dan tidak diambil langkah tegas oleh para penegak
hukum, maka tidak tertutup kemungkinan status Indonesia akan meningkat
menjadi priority foreign country.
Jika bangsa Indonesia berkomitmen untuk menerapkan sistem
perlindungn HAKI di bidang perfilman secara konsekuen, secara makro hal
ini akan memberikan keuntungan bagi pertumbuhan ekonomi nasional,
terutama dari hasil produksi film dalam negeri. Hasil positif itu antara
lain: 1. Meningkatkan kinerja dalam menghasilkan karya yang lebih
inovatif (empowermnet); 2. Meningkatkan daya saing (competition); 3. Meningkatkan pendapatan (income); dan 4. Meningkatkan investasi (investation).
Lemahnya Sanksi Hukum
Lepas dari persoalan kultur dan mental, sebenarnya banyak kendala
yang melingkupi ruwetnya sistem hak cipta di Indonesia. Akar
permasalahan bersumber dari lemahnya infrastruktur yang ada, terutama
sistem hukum yang nyaris tidak berjalan. Celakanya, dalam upaya
penyelesaian, kendala teknis selalu mengemuka bila bersentuhan dengan
kondisi riil bangsa yang mengalami krisis multidimensi.
Akibatnya, hampir semua keterpurukan selalu dikaitkan dengan dana
yang terbatas sehingga sulit menemukan titik temu bagaimana solusi
terbaik yang seharusnya dilakukan. Malah, bangsa kita gemar sekali
mencari kambing hitam atas segala permasalahan yang timbul, tanpa pernah
mencoba dengan penuh legawa merefleksikan kesalahan itu sebagai suatu bentuk introspeksi.
Demikian halnya dengan perlindungan terhadap hak cipta film.
Ada kesan yang seolah dibangun pemerintah bahwa penyelesaian persoalan
politik jauh lebih penting dari pada sekadar mengurusi “nasib”
pembajakan. Daya beli masyarakat yang rendah akibat krisis ekonomi juga
menjadi alat justifikasi pembajakan. Mahalnya sebuah produk asli
seakan-akan mendorong masyarakat untuk berpikir “kreatif” bagaimana
mendapatkan barang yang sama dengan harga murah. Walhasil tindakan
pembajakan dianggap sah.
Apalagi jika dilihat dari political will para politisi di
DPR saat menerima keluhan tentang banyaknya peredaran VCD/DVD bajakan
beberapa waktu lalu. Dengan enteng mereka menjawab bahwa kehadiran
VCD/DVD bajakan telah menjadi hiburan yang murah meriah bagi rakyat,
sehingga untuk apa mengganggu kesenangan rakyat yang sudah banyak
menderita oleh banyaknya persoalan bangsa ini? Sebuah kredo yang
terdengar “manis”, tetapi sangat membahayakan bagi eksistensi
kreativitas di negeri ini.
Dalam perkembangannya, pembajakan yang disupport oleh penguasa dan
dimotori oleh media dapat menciptakan budaya baru dalam masyarakat yang
lazim disebut sebagai budaya massa. Bauman (1972) mengatakan
bahwa budaya massa adalah konsekuensi yang tidak dapat ditolak dari
munculnya pasar, tersedianya teknologi, dan dominasi organisasi besar .
Parahnya, situasi ini didukung oleh pertimbangan ekonomis masyarakat
yang berpedoman; “Selama masih bisa dihemat mengapa harus membeli yang
mahal?”.
Perilaku konsumsi masyarakat terhadap media, khusunya film selain
dipengaruhi oleh selera juga tergantung daya beli. Terkait dengan asas
tersebut muncullah istilah purchasing power yang mempengaruhi
konsumsi film. Artinya, sebelum membeli VCD/DVD bajakan, konsumen
dihadapkan pada tiga pilihan, yaitu membeli, menunda, atau tidak
membelinya. Pada level ini digambarkan bahwa keputusan membeli berada
dalam deret pilihan pembelian produk-produk yang lain, termasuk VCD/DVD
orisinal.
Pilihan semacam ini mendorong produsen VCD/DVD bajakan menciptakan
barang produksinya semirip mungkin dan semurah mungkin, bahkan jika bisa
dengan kualitas yang sama. Akibatnya dengan pola pikir ekonomi,
ditunjang dengan daya beli yang cenderung rendah, masyarakat lebih
memilih VCD/DVD bajakan.
Disinyalir, karena pertimbangan skala prioritas itulah konsumen
kadang lupa bahwa barang yang dibeli atau disewanya adalah barang ilegal
dan proses penciptaannya telah melanggar hukum.
Begitulah, berbagai persoalan kompleks menyebabkan HAKI di bidang
film masih belum bisa dimengerti secara penuh di Indonesia. Tak heran
jika VCD/DVD bajakan masih sangat umum dan wajar di negara kita. Padahal
dilihat dari sisi objektif, pembajakan yang membudaya pada hakikatnya
sangat menghambat perkembangan kemajuan karya perfilman di tanah air.
Kerugian material akibat pembajakan film juga tidak main-main hingga
mencapai trilyunan rupiah. Belum lagi dengan adanya pembajakan tersebut
telah menghambat penerimaan negara melalui pajak dan investasi industri.
Selain itu, pemabjakan mendorong pengebirian kretivitas karena royalti
yang seharusnya diterima para pembuat film, raib entah ke mana.
Munculnya fenomena VCD/DVD bajakan tidak datang begitu saja bila
tidak dibarengi harga VCD/DVD Player yang juga semakin murah. Berbagai
merek DVD Player ditawarkan dengan harga mulai sekitar Rp 175.000 hingga
jutaan rupiah. Bahkan kadangkala pembayarannya pun bisa dicicil. Selain
itu, usaha persewaan VCD/DVD bajakan dan player pun mudah dijumpai di
berbagai tempat, baik di kota besar maupun di kota-kota kecil. Untuk
menyewa VCD/DVD bajakan hanya membutuhkan biaya Rp 1.000 – Rp 3.000
perkeping judulnya.
Dilihat dari kacamata hukum HAKI, harga VCD/DVD bajakan bisa jauh
lebih murah karena konsumen tak perlu membayar royalti, berbagai pajak
serta biaya operasional lainnya. Produsen juga tak perlu berpromosi
untuk melariskan barang dagangannya.
Dalam konteks maraknya kasus pelanggaran HAKI,
dapat dinilai bahwa perilaku masayarakat kita sunguh membingungkan.
Dulu, di tahun 1951, Indonesia menyatakan keluar dari Benre Convention
(sebuah konvensi tentang hak cipta) yang bertuuan agar dapat melakukan
“penjiplakan” besar-besaran dalam upayanya melakukan alih teknologi.
Ternyata peluang tersebut tidak dimanfaatkan sebaik-baiknya, padahal
saat itu sangat memungkinkan, bahkan ditolerir untuk melakukan peniruan
dan penjiplakan.
Negara-negara lain seperti Jepang dan Jerman memanfaatkan peluang
tersebut secara maksimal. Dan hasilnya, mereka sekarang menjadi sangat
maju dalam menguasai teknologi.
Minggu, 23 Juni 2013
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
0 komentar:
Posting Komentar